BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Gonore
merupakan penyakit yang mempunyai insidens yang tinggi diantara penyakit
menular seksual yang lain, penyakit ini tersebar di seluruh dunia secara
endemik, termasuk di Indonesia. Di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun
terdapat 1 juta penduduk terinfeksi gonore. Pada umumnya diderita oleh
laki-laki muda usia 20 sampai 24 tahun dan wanita muda usia 15 sampai 19 tahun.
Gonore
adalah gonokok yang ditemukan oleh Neisser pada tahun 1879, dan baru diumumkan
tahun 1882, kuman tersebut termasuk dalam group Neisseria. Gonokok termasuk
golongan diplokok berbentuk biji kopi berukuran lebar 0,8U dan panjang 1,6U,
bersifat tahan asam dan Gram negatif, terlihat diluar dan didalam leukosit,
tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati dalam keadaan kering, tidak tahan
suhu di atas 39°C dan tidak tahan zat desinfektan. Gonokok terdiri dari 4 tipe,
yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai vili yang bersifat virulen, serta tipe 3 dan
4 yang tidak mempunyai vili yang bersifat nonvirulen, vili akan melekat pada
mucosa epitel dan akan menimbulkan reaksi sedang. Gonore tidak hanya mengenai alat-alat genital tetapi juga ekstra genital.
Salah satunya adalah konjungtiva yang akan menyebabkan konjungtivitis, penyakit
ini dapat terjadi pada bayi yang baru lahir dari ibu yang menderita servisitis
gonore atau pada orang dewasa, infeksi terjadi karena penularan pada
konjungtiva melalui tangan dan alat-alat.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa yang dimaksud
dengan gonore ?
1.2.2
Apa penyebabnya gonore
?
1.2.3
Apa faktor resiko
gonore ?
1.2.4
Bagaimana mekanismenya
penyakit gonore ?
1.2.5
Apa saja tanda dan
gejala penyakit gonore ?
1.2.6
Bagaimana pemeriksaan
penunjang pada penyakit gonore ?
1.2.7
Apa saja komplikasi
penyakit gonore?
1.2.8
Bagaimana
penatalaksanaan pada pasien dengan penyakit gonore ?
1.2.9
Bagaimana proses asuhan
keperawatan pada klien dengan diagnosa gonore ?
1.3
Tujuan
Penulisan
Tujuan
umum dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pembelajaran dan
pengetahuan kita sebagai perawat dalam melakukan proses asuhan keperawatan pada
klien dengan diagnosa medis gonore, dan cara pengaplikasiannya. Sedangkan untuk
tujuan khususnya adalah
1.3.1
Untuk memahami definisi
tentang gonore
1.3.2
Untuk memahami tentang
penyebab gonore
1.3.3
Untuk memahami tentang
faktor resiko gonore
1.3.4
Untuk memahami tentang
mekanisme proses penyakit gonore
1.3.5
Untuk memahami tentang tanda
dan gejala gonore
1.3.6
Untuk memahami tentang pemeriksaan
penunjang pada penyakit gonore
1.3.7
Untuk memahami tentang
komplikasi penyakit gonore
1.3.8
Untuk memahami tentang
penatalaksanaan penyakit gonore
1.3.9
Untuk memahami tentang
proses asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit gonore
1.4
Manfaat
Penulisan
1.4.1
Bagi Mahasiswa
Meningkatkan wawasan, pengetahuan dan
mengerti tentang Asuhan Keperawatan pada klien dengan diagnosa medis gonore dan
mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien.
1.4.2
Bagi Institusi
Pendidikan
Sebagai informasi lebih lanjut dalam menjelaskan
konsep medis dan asuhan keperawatan pada penyakit gonore.
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Gonorhea adalah sebuah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhea yang penularannya
melalui hubungan kelamin baik melalui genito-genital, oro-genital, ano-genital.
Penyakit ini menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum,
tenggorokan, dan konjungtiva. (Brunner dan Suddarth,2001)
Gonorhea adalah sebuah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhea yang penularannya melalui hubungan kelamin
baik melalui genito-genital, oro-genital, ano-genital. Penyakit ini menginfeksi
lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum, tenggorokan, dan konjungtiva. Gonore dapat menyebar melalui aliran darah ke bagian
tubuh lain terutama kulit dan persendian. Pada wanita, gonore bisa menjalar ke
saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam panggul sehingga menyebabkan
nyeri pinggul dan gangguan reproduksi.
Tidak
semua orang yang terpajan gonore akan terjangkit penyakit, dan resiko penularan
dari laki – laki kepada perempuan lebih tinggi daripada penularan perempuan
kepada laki – laki, terutama karena lebih luasnya selaput lendir yang terpajan
dan eksudat yang berdiam lama, divagina. Setelah terinolkulasi, infeksi dapat
menyebar ke prostat, vas deferent, vesicular semminalis, epididimis, dan testis
pada laki-laki dan ke uretra, kelenjar skene, kelenjar bartolin, endometrium,
tube falopi, dan rongga peritoneum menyebabkan PID pada perempuan.
PID
adalah menyebab utama infertilitas pada perempuan. Infeksi gonokokus dapat
menyebar melalui aliran darah, menimbulkan bakteremia gonokokus. Bakteremia
dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan tetapi apabila dibandingkan lebih
sering terjadi pada perempuan. Perempuan beresiko tinggi mengalami penyebaran
infeksi pada saat haid. Penularan perinatal kepada bayi saat lahir, melalui os
servik yang terinfeksi, dapat menyebabkan konjungtivitis dan akhirnya kebutaan
pada bayi apabila tidak diketahui dan diobati.
2.2 Etiologi
Penyebab pasti penyakit gonore adalah bakteri Neisseria
gonorrhea / Gonokok yang bersifat
patogen yang di temukan oleh Neisser dari
Polandia pada tahun1879 dan baru diumumkan apada tahun 1882. Kuman tersebut
termasuk dalam grup Neisseria dan dikenal ada 4 spesies, yaitu N. gonorrhoeae dan N. meningitidis yang bersifat
patogen serta N. cattarrhalis dan N. pharyngis sicca yang bersifat komensal. Keempat spesies ini
sukar dibedakan kecuali dengan tes fermentasi.
Gonokok
termasuk golongan diplokok berbentuk bji kopi berukuran lebar 0,8 u dan panjang
1,6 u bersifat tahan asam. Pada sediaan langsung dengan pewarna gram bersifat
gramnegatif , terlihat di luar dan di dalam leukosit, tidak tahan lama di udara
bebas, cepat mati dalam keadaan kering , tidak tahan suhu di atas 39°C dan
tidak tahan zat disinfektan. Secara marfalogi gonogok terdiri atas 4 tipe
,yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai pili yang yang bersifat virulen dan bersifat
nonvirulen pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi
radang.
Kuman Neisseria gonorrhea paling mudah menginfeksi daerah dengan
mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang atau imatur,
misalnya pada vagina wanita yang belum pubertas.
Galur
N. gonorrhoeae penghasil penisilinase (NGPP) merupakan galur gonokokus yang
mampu menghasilkan enzim penisilinase atau beta-laktamase yang dapat merusak
penisilin menjadi senyawa inaktif, sehingga sukar diobati dengan penisilin dan
derivatnya, walaupun gejala dengan peninggian dosis
Bakteri
ini melekat dan menghancurkan membrane sel epitel yang melapisi selaput lender,
terutama epitel yang melapisi kanalis endoserviks dan uretra. Infeksi
ekstragenital di faring, anus, dan rectum dapat dijumpai pada kedua jenis
kelamin. Untuk dapat menular, harus terjadi kontak langsung mukosa ke mukosa.
2.3 Faktor Resiko
Studi
Epidemiologi menunjukkan faktor-faktor risiko terjadinya gonore meliputi :
1. Adanya
sumber penularan penyakit
2.
Bergonta – ganti
pasangan seksual
3.
Tidak menggunakan
kondom pada saat berhubungan seksual , penggunaan kondom hanya sebagai pencegah
kehamilan bukan sebagai pencegah penularan penyakit gonore, prostitusi,
kebebasan individu dan ketidaktahuan serta keterbatasan sarana penunjang.
(Daili, 2005 :4).
2.5 Tanda dan Gejala
a)
Pada
pria
1.
Masa tunas gonore sangat singkat, pada pria umumnya bervariasi antara 2-5
hari, kadang - kadang lebih lama karena pengobatan diri sendiri tapi dengan
dosis yang tidak cukup atau gejala sangat samar sehingga tidak diperhatikan.
2.
Gejalanya berawal sebagai rasa tidak enak pada uretra kemudian diikuti
nyeri ketika berkemih
3.
Disuria yang timbul mendadak, rasa buang air kecil disertai dengan
keluarnya lendir mukoid dari uretra
4.
Retensi urin akibat inflamasi prostat
5.
Keluarnya nanah dari penis atau kadang-kadang sedikit mengandung darah.
6.
Tempat masuk kuman pada pria di uretra manimbulkan uretritis. Yang paling
sering adalah uretritis anterior akut dan dapat menjalar sehingga terjadi
komplikasi. Komplikasi bisa berupa komplikasi lokal, yaitu : tisonitis,
parauretritis, littritis, dan cowperitis. Komplikasi asenden, yaitu :
prostatitis, vesikulitis vas deferentitis/funikulitis epididimitis, trigonitis
; dan komplikasi diseminata.
7.
Keluhan subyektif berupa rasa gatal, panas sewaktu kencing terdapat pada
ujung penis atau bagian distal uretra, perasaan nyeri saat ereksi.
b) Pada wanita
1.
Gejala awal biasanya timbul dalam waktu 7-21 hari setelah terinfeksi
2.
Penderita seringkali tidak merasakan gejala selama beberapa minggu atau
bulan (asimtomatis)
3.
Jika timbul gejala, biasanya bersifat
ringan. Namun, beberapa penderita menunjukkan gejala yang berat seperti desakan
untuk berkemih
4.
Nyeri ketika berkemih
5.
Keluarnya cairan dari vagina
6.
Demam
7.
Infeksi dapat menyerang leher rahim, rahim, indung telur, uretra, dan
rektum serta menyebabkan nyeri pinggul yang dalam ketika berhubungan seksual
8.
Pada pemeriksaan, serviks tampak merah dengan erosi dan sekret mukopurulen.
Wanita dan pria homoseksual yang melakukan hubunga seks melalui anus, dapat
menderita gonore di rektumnya. Penderita akan merasa tidak nyaman disekitar
anusnya dan dari rektumnya keluar cairan. Daerah disekitar anus tampak merah
dan kasar serta tinja terbungkus oleh lendir dan nanah.
9.
Pada umumnya terdapat
rasa sakit pada punggung bagian bawah, bersama-sama keadaan tidak enak badan
2.6 Komplikasi
a)
Pada
Pria
1.
Tysonitis, biasanya
terjadi pada pasien dengan preputium yang sangat panjang dan kebersihan yang
kurang baik. Diagnosis dibuat berdasarkan ditemukannya butir pus atau
pembengkakan pada daerah frenulum yang nyeri tekan. Bila duktus tertutup akan
menjadi akses dan merupakan sumber infeksi laten.
2.
Parauretritis, sering
pada orang dengan orifisium uretra eksternum terbuka atau hipospadia. Infeksi
pada duktus ditandai dengan butir pus pada kedua muara parauretra.
3.
Radang kelenjar Littre
(littritis), tidak mempunyai gejala khusus. Pada urin ditemukan benang-benang
atau butir-butir. Bila salah satu saluran tersumbat dapat terjadi abses
folikular. Diagnosis komplikasi ini ditegakkan dengan uretroskopi.
4.
Infeksi pada kelenjar
Cowper (Cowperitis), dapat menyebabkan abses. Keluhan berupa nyeri dan adanya
benjolan di daerah perineum disertai rasa penuh dan panas, nyeri pada waktu
defekasi, dan disuria. Jika tidak diobati, abses akan pecah melalui kulit
perineum, uretra, atau rektum dan mengakibatkan proktitis.
5.
Prostatitis akut
ditandai dengan perasaan tidak enak di daerah perineum dan suprapubis, malaise,
demam, nyeri kencing sampai hematuria, spasme otot uretra sehingga terjadi
retensi urin, tenesmus ani, sulit buang air besar, dan obstipasi. Pada pemeriksaan
teraba pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, nyeri tekan, dan adanya
fluktuasi bila telah terjadi abses. Jika tidak diobati abses akan pecah, masuk
ke uretra posterior atau ke arah rektum mengakibatkan proktitis.
6.
Gejala prostatitis
kronik ringan dan intermiten, tetapi kadang-kadang menetap. Terasa tidak enak
di perineum bagian dalam dan rasa tidak enak bila duduk terlalu lama. pada
pemeriksaan prostat teraba kenyal, berbentuk nodus, dan sedikit nyeri pada
penekanan. Pemeriksaan dengan pengurutan prostat biasanya sulit menemukan kuman
gonokok.
7.
Vesikulitis ialah
radang akut yang mengenai vesikula seminalis dan duktus ejakulatorium, dapat
timbul menyertai prostatitis akut atau apididimitis akut. Gejala subyektif
menyerupai gejala prostatitis akut, yaitu demam, polakisuria, hematuria
terminal, nyeri pada waktu ereksi atau ejakulasi, dan sperma mengandung darah.
Pada pemeriksaan melalui rektum dapat diraba vesikula seminalis yang membengkak
dan keras seperti sosis, memanjang di atas prostat. Ada kalanya menentukan
batas kelenjar prostat yang membesar.
8.
Pada vas deferentitis
atau funikulitis, gejala berupa perasaan nyeri pada daerah abdomen bagian bawah
pada sisi yang sama.
9.
Epididimitis akut
biasanya unilateral dan setiap epididimitis biasanya disertaivas deferentitis.
Keadaan yang mempermudah timbulnya epididimitis ini adalah trauma pada uretra
posterior yang disebabkan oleh pengelolaan atau kelalaian pasien sendiri.
Epididimis dan tali spermatika membengkak dan teraba panas, juga testis,
sehingga menyerupai hidrokel sekunder. Pada penekanan terasa nyeri sekali. Bila
mengenai kedua epididimis dapat mengakibatkan sterilitas.
10. Infeksi
asendens dari uretra posterior dapat mengenai trigonum vesika urinaria.
Gejalanya berupa poliuria, disuria terminal, dan hematuria.
b)
Pada
Wanita
1.
Parauretritis. Kelenjar
parauretra dapat terkena, tetapi abses jarang terjadi.
2.
Kelenjar bartholin dan
labium mayor pada sisi yang terkena membengkak, merah dan nyeri tekan, terasa
nyeri sekali bila pasien berjalan dan pasien sukar duduk. Abses dapat timbul
dan pecah melalui mukosa atau kulit. Bila tidak diobati dapat rekurens atau
menjadi kista.
3.
Salpingitis, dapat
bersifat akut, subakut atau kronis. Ada beberapa faktor predisposisi, yaitu
masa puerpurium, setelah tindakan dilatasi dan kuretase, dan pemakaian IUD.
Infeksi langsung terjadi dari serviks melalui tuba fallopi ke daerah salping
dan ovum sehingga sehingga dapat menyebabkan penyakit radang panggul (PRP).
Gejalanya terasa nyeri didaerah abdomen bawah, duh tuba vagina, disuria, dan
menstruasi yang tidak teratur atau abnormal. PRP yang simtomatik atau
asimtomatik dapat menyebabkan jaringan parut pada tuba sehingga dapat
mengakibatkan infertilitas atau kehamilan diluar kandungan.
Diagnosis banding yang
perlu dipikirkan antara lain kehamilan di luar kandungan, apendisitis akut,
abortus septik, endometriosis, ileitis regional, dan divertikulitis. Penegakan
diagnosis dilakukan dengan pungsi kavum Douglas, kultur, dan laparoskopi.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
1. Sediaan
Langsung
Pada
sediaan langsung dengan pewarnaan gram akan ditemukan diplokokus gram negatif,
intraseluler dan ekstraseluler, leukosit PMN. Bahan duh tubuh pada pria diambil
dari daerah setelah fosa navikularis, sedangkan pada wanita diambil dari
serviks, uretra, muara kelenjar bartholin dan rektum. Asupan posistif apabila
ditemukan diplokokus gram negative intrasel. Sayangnya, metode pewarnaan ini
kurang andal untuk didiagnosis gonore pada perempuan, pasien asimtomatik dan
infeksi direktum atau faring.
2. Kultur
(Biakan)
Untuk
memastikan diagnosis harus dilakukan pembiakan dari semua kemungkinan tempat
infeksi. Kuman memerlukan waktu 48 jam – 96 jam untuk tumbuh dalam biakan, dan
berdasarkan anamnesis dan gejala, atau riwayat pajanan, terapi antibiotic
biasanya sudah dimulai sebelum hasil diperoleh, pembiakan (kultur) menggunakan
media yaitu :
§ Media
transport, misalnya media stuart dan
media transgrow (merupakan gabungan media transpor dan pertumbuhan yang
selektif dan nutritif untuk N.gonorrhoeae
dan N.meningitidis).
§ Media
pertumbuhan, misalnya Mc Leod’s chocolate agar, media thayer martin (selektif
untu mengisolasi gonokok), agar thayer martin yand dimodifikasi.
3. Tes
Definitif
§ Tes
Oksidasi : Semua golongan Neisseria akan bereaksi positif
§ Tes
fermentasi : Kuman gonokokus hanya meragikan glukosa
4. Tes
Beta Laktamase
Hasil tes positif ditunjukkan dengan
perubahan warna kuning menjadi merah apabila kuman mengandung enzim beta
laktamase
5. Tes
Thomson
Dengan menampung urine pagi dalam dua
gelas tes ini digunakan untuk mengetahui sampai dimana infeksi sudah
berlangsung.
6. Tes
Amplifikasi DNA
Uji –uji amplifikasi DNA dengan
menggunakan metode teaksi berantai polymerase ( PCR ) dan reaksi berantai
ligase ( LCR ) digunakan dengan secret vagina atau servik atau amplifikasi DNA
dapat dilakukan pada specimen urin untuk menghindari rasa tidak nyaman akibat
pengambilan sediaan apusan dari uretra. Sayangnya specimen urin tidak
sesensitif pada permpuan dengan infeksi uretra. Infeksi klamidia yang sering
menyertai infeksi gonorea dapat didiagnosis pada specimen yang sama. Uji – uji
amplifikasi DNA semakin banyak tersedia dan popular karena tingga sensitifitas
dan kemudahan dalam menangani dan mengirim specimen. Uji – uji non biakan
misalnya deteksi antigen dengan antibody limunofluoresensi langsung ( DFA ) dan
enzyme immunosorbent assay ( EIA ) kurang dikembangkan dan jarang digunakan.
2.8 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Karena meningkatnya insiden yang cukup
mengkhawatirkan dari N gonorrhoeae yang
resisten terhadap antibiotika, termasuk N
gonorrhoeae penghasil penisilinase ( PPNG ) , N gonorrhoeae yang resisten tetrasiklin ( TRNG ), dan strain dengan
resisten yang berperantara kromosom terrhadap berbagai antibiotika, maka terapi
awal dengan sefriakson harus sangat dipertimbangkan untuk pengobatan infeksi N gonorrhoeae disemua lokasi anatomis.
Uji kepekaan rutin dan uji penilaian kesembuhan harus diperoleh bila digunakan regimen yang tidak mengandung
seftriaksone.
a) Infeksi
uretra, endoserviks, faring, atau rectum tanpa komplikasi pada orang dewasa
1. Seftriaksone,
25 mg secara intramuscular, sebagai dosis tunggal
2. Bila
ada kemungkinan disertai infeksi klamidia, berikan juga doksisiklin, 100 mg
secara oral 2x sehari selama 7 hari, tetrasiklin 500 mg secara oral 4x sehari
selama 7 hari, eritromisin basa / strearat 500 mg secara oral 4x sehari selama
7 hari, eritromisin etilsuksinat 800 mg secara oral 4x sehari selama 7 hari /
ezitromisin 1 g secara oral sekali.
b) Gonore
pada pasien yang alergi penisilin.
Pada
pasien yang tidak dapat menerima seftriakson berikan spektinomisin, 2 gram
secara intramuscular. Alternative lain adalah siprofloksasin, 500 mg secara
oral sebagai dosis tunggal; ofloksasin, 400 mg secara oral sekali; atau
sefiksim, 400 mg secara oral sekali. Hanya kalau infeksi terbukti dari strain
non-PPNG dapat digunakan penisilin misalnya amoksisilin, 3 gram secara oral
dengan probenesit 1 gram. Semua regimen ini harus diikuti dengan doksisiklin,
100 mg 2x sehari selama 7 hari, atau tetraksiklin, 500 mg secara oral setiap 6
jam selama 7 hari, untuk mengobati infeksi klamidia yang menyertai.
Spektinomisin tidak boleh digunakan untuk mengobati infeksi faring. Kalau
infeksi faring tidak dapat diterapi dengan seftriakson, harus diberikan
siprofloksasin, 500 mg sebagai dosis tunggal.
c) Kontak
seksual sebelum 30 hari sebelumnya harus diperiksa dan diterapi dengan tepat
sesuai dengan protocol terdahulu.
d) Gonore
pada kehamilan.
Berikan
seftriakson, 250 mg secara intramuscular sekali. Bila terdapat alergi penisilin
yang membahayakan jiwa, berikan spektinomisin, 2 gram secara intramuscular.
Eritromisin, 500mg 4x sehari selama 7 hari, harus ditambahkan pada semua
regimen untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan infeksi klamidia.
e) Infeksi
gonokokus diseminata.
Biasanya
diperlukan perawatan rumah sakit. Salah satu dari regimen antibiotika berikut
sudah memadai.
1. Seftriakson
1 g secara intramuscular atau secara intravena 1x sehari.
2. Sefotaxim
1g secara intravena setiap 8 jam.
3. Seftizoksim
1 g secara intravena setiap 8 jam.
4. Pasien
yang alergi terhadap obat β laktam harus diterapi dengan spektinomisin, 2 g
secara intramuscular setiap 12 jam.
5. Hanya
bila organism penyebab infeksi itu terbukti peka terhap penisilin, terapi dapat
diganti ampisilin, 1 g setiap 6 jam.
6. Pasien
harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya infeksi klamidia dan juga diterapi
secara empiris dengan doksisiklin atau tetrasiklin.
7. Pasien
yang taat dapat dipulangkan 24-48 jam setelah gejala membaik untuk
menyelesaikan seluruh terapi antibiotika selama 7-10 hari dengan sefiksin, 400
mg secara oral, 2x sehari, atau amoksilin, 500 mg dengan asam klavolanak 3x
sehari, atau pada orang dewasa yang tidak hamil, dengan siprofloksasim, 500 mg
2x sehari.
f) Kegagalan
terapi.
Infeksi
yang terjadi setelah terapi dengan seftriakson biasanya adalah akibat reinfeksi
dan bukannya kegagalan regimen terapi . pasien dengan gejala yang berlanjut
setelah terapi yang tepat, harus menjalani pembiakan N Gonorrhoeae dengan uji
kepekaanterhadap semua isolate. Jiak hasil biakan negative, diagnosis uretritis
nongonokokus harus dipertimbangkan dan diberikan terapi dengan doksisiklin.
2.
Nonmedikamentosa
a.
Memberikan pendidikan
kepada pasien dengan menjelaskan tentang:
§
Bahaya penyakit menular
seksual (PMS) dan komplikasinya
§
Pentingnya mematuhi
pengobatan yang diberikan
§
Cara penularan PMS dan
perlunya pengobatan pasangan seks tetapnya hindari seksual sebelum sembuh, dan
memakai kondom jika tak dapat dihindarkan
§
Cara-cara menghindara
infeksi PMS dimasa datang
b. Pengobatan
pada pasangan seksual tetapnya
BAB III
ASUHAN
KEPERAWATAN
PADA
KLIEN DENGAN DIAGNOSA GONORE
3.1
Pengkajian
A. Anamnese
a) Riwayat
Keperawatan
a. Identitas
Meliputi :
1.
Nama,
2.
Umur
: angka terjadi pada
perempuan berusia 15 – 19 th dan laki-laki berusia 20 – 24 tahun
3.
Jenis
kelamin : bisa terjadi pada
kedua jenis kelamin tetapi angka tertinggi pada perempuan
4.
Agama
5.
Auku
bangsa : angka gonnorea di
Amerika serikat lebih tinggi daripada di negara-negara inustri lainnya
6.
Pekerjaan
7.
Pendidikan
8.
Status
perkawinan
9.
Alamat
10.
Tgl MRS.
b. Keluhan
Utama
Klien biasanya
mengatakan nyeri saat kencing namun ada juga yang asimtomatik.
c. Riwayat
Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah
klien pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.
d. Riwayat
Penyakit Sekarang
P = Tanyakan penyebab
terjadinya infeksi ?
(Terinfeksinya
dikarenakan sering berhubungan seks tanpa pengaman )
Q =
Tanyakan bagaimana gambaran rasa nyeri tersebut.
(Berupa rasa gatal, panas sewaktu kencing
terdapat pada ujung penis atau bagian distal uretra, perasaan nyeri saat
ereksi)
R = Tanyakan pada daerah mana yang sakit,
apakah menjalar …?
(Rasa tidak nyaman pada uretra
kemudian diikuti nyeri ketika berkemih)
S = Kaji skala nyeri untuk
dirasakan.
(Rata-rata nyeri berskala 7)
T = Kapan keluhan dirasakan ?
(Keluhan dirasakan pada saat akan berkemih)
e. Riwayat
Kesehatan Keluarga
Tanyakan pada
kx apakah ada anggota keluarga px yang menderita penyakit yang sama seperti
yang diderita px sekarang dan juga
apakah ada penyakit keturunan yang di derita keluarganya.
b) Pola – Pola
Fungsi Kesehatan
1. Pola
persepsi dan tata laksana hidup
Perlu dikaji bagaimana
kebiasaan kesehatannya dalam kehiduoan sehati – harinya, misalnya PH dari klien
seperti mandi dan gosok, gigi serta kebiasaan – kebiasaan dalam mengkonsumsi
minum – minuman keras dan perokok.
2. Pola
tidur dan istirahat
Perlu dikaji bagaimana
kebiasaan pola tidur klien setiap harinya, sebelum dan setelah sakit, biasanya
klien akan mengalami gangguan pola tidur karena proses inflamasi dan
pembengkakan jika telah terjadi komplikasi.
3. Pola
aktifitas dan latihan
Perlu dikaji kegiatan
keseharian dari klien, dan keteraturan klien dalam berolahraga.
4. Pola
hubungan dan peran
Perlu dikaji bagaimana
peran klien dengan keluarganya dan lingkungan sekitarnya, biasanya pada klien
dengan gonore hubungan peran dengan keluarga terutama suami atau istri kurang
baik sehingga menyebabkan pelampiasannya dengan orang lain yang telah
terjangkit gonore.
5. Pola
persepsi dan konsep diri
Perlu dikaji bagaimana
persepsi klien dengan kondisi tubuhnya yang menderita gonore, apakah hal ini
akan mempengaruhi konsep diri klien yang menyebabkan klien ini akan merasa
rendah diri.
6. Pola
sensori dan kognitif
Perlu dikaji tingkat
pengetahuan klien mengenai penyakit yang dideritanya dan juga kognitif klien,
misalnya tingkatan pendidikannya. Biasanya pada klien gonore tingkat
pendidikannya rendah sehingga mereka sulit mendapatkan pekerjaan dan akan
melakukan pekerjaan yang bisa menyebabkan tertularnya gonore.
7. Pola
penanggulangan stress
Perlu dikaji bagaimana
klien dalam menangani stress yang dialami berhubungan dengan kondisi sakitnya.
8. Pola
tata nilai dan kepercayaan
Perlu dikaji bagaimana
kebiasaan beribadah klien, serta kepercayaannya.
9. Pola
reproduksi dan seksual
Perlu dikaji apakah
klien masih dalam masa subur atau tidak, berapa jumlah anaknya, apakah
menggunakan alat kontrasepsi dan dengan kondisi sakitnya saat ini bagaimana
pola seksualitas dari klien, biasnya klien mengalami perubahan dalam pola
seksualnya karena adanya inflamasi pada organ reproduksinya.
10. Pola
eliminasi
Perlu dikaji frekuensi
dan konsistensi BAB serta BAK klien setiap harinya, apakah mengalami gangguan
atau tidak, biasanya klie mengalami disuria dan sulit untuk BAB serta diikuti
dengan rasa nyeri.
11. Pola
nutrisi dan metabolisme
Klien perlu dikaji
dengan kondisi sakitnya, apakah klien mengalami gangguan pola makan, namun
biasanya klien akan merasa malas, dan mengalami gangguan pola makannya karena
adanya inflamasi pada faringnya sehingga akan mengalami penurunan metabolisme
tubuh.
c) Pemeriksaan
Fisik
1. Tingkat
Kesadaran
GCS : biasanya
kesadaran pasien normal yaitu 4,5,6
Observasi TTV Klien, yaitu
:
§ Nadi
§ Tekanan
Darah
§ RR
§ Suhu
2. Pengkajian
Persistem
a. Sistem
Integumen
Biasanya terjadi
inflamasi jaringan sekitar uretra, genital lesions dan skin rashes.
b. Sistem
Kardiovaskuler
Kaji apakah bunyi jantung
normal / mengalami gangguan,
biasanya pada klien bunyi jantung normal, namun akan mengalami peningkatan nadi
karena proses dari inflamasi yang mengakibatkan demam.
c. Sistem
Pernafasan
Perlu dikaji pola nafas klien, auskultasi paru –
paru untuk mengetahui bunyi nafas, dan juga kaji anatomi pada sistem pernafasan,
apakah terjadi peradangan atau tidak. Biasanya pada klien terdapat peradangan
pada faringnya karena adanya penyakit.
d. Sistem
Penginderaan
Kaji konjungtiva, apakah ada
peradangan / tidak.
( Konjungtiva tidak mengalami peradangan, namun akan mengalami peradangan jika
pada konjungtivitis gonore dan juga bisa ditemukan adanya pus )
e. Sistem
Pencernaan
·
Kaji mulut dan tenggorokan termasuk toksil.
( Mulut sudah terjaga PHnya dan tidak terdapat toksil )
·
Pada
faring biasanya mengalami inflamasi sehingga akan mengalami gangguan dalam pola
makan
·
Apakah terdapat diare / tidak.
( Pola eliminasi vekal tidak mengalami gangguan )
·
Anus
Biasanya pasien mengalami inflamasi
jaringan akibat infeksi yang
menyebabkan klien sulit dan nyeri saat BAB
f. Sistem
Perkemihan
Biasanya klien akan mengalami , retensi urin karena inflamasi prostat,
keluar nanah dari penis dan kadang – kadang ujung
uretra disertai darah, pembengkakan
frenulum pada pria, dan pembengkakan kelenjar bartoloni serta labio mayora pada
wanita yang juga disertai dengan nyeri tekan.
g. Sistem
Muskuluskeletal
Biasanya pada pasien laki – laki tidak mengalami kesulitan bergerak, sedangkan pada pasien wanita yang sudah
mengalami komplikasi akan mengalami kesulitan dalam bergerak dan juga saat
duduk karena terjadinya komplikasi pembengkakan pada kelenjar bartholini dan
juga labio mayoranya.
1.2
Diagnosa
1. Gangguan
rasa nyaman nyeri saat BAK berhubungan dengan adanya reaksi inflamasi pada
uretra ditandai dengan klien mengeluh sakit dan keluat nanah pada saat
berkemih.
2. Peningkatan
suhu tubuh berhubungan dengan adanya
reaksi penyakit ( reaksi inflamasi )
3. Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan kerusakan jaringan yang ditandai dengan
adanya abses dan kemerahan
4. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan
dengan inflamasi pada prostat ditandai dengan retensi urin dan disuria
5. Cemas berhubungan dengan proses penyakit yang
ditandai dengan klien banyak bertanya tentang penyakitnya.
6. Risiko penularan berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan klien tentang cara penularan.
7. Resiko harga diri
rendah berhubungan dengan proses penyakitnya.
1.3
Intervensi
1) Diagnosa
I
Gangguan rasa nyaman
nyeri saat BAK berhubungan dengan adanya reaksi inflamasi pada uretra ditandai
dengan klien mengeluh sakit dan keluat nanah pada saat berkemih.
Tujuan : setelah
dilakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam, klien akan merasa nyaman
saat berkemih.
Kriteria Hasil :
- Klien tampak rileks saat berkemih
- Klien
secara verbal mengatakan tidak sakit / tidak nyeri
- Klien
akan menggunakan pencegahan non analgetik untuk mengurangi rasa nyerinya.
- Skala
nyeri klien 2 – 3 / 0
- Tanda
– tanda vital klien dalam batas normal
- Klien
tampak tenang
Rencana
Tindakan :
1. Lakukan
pendekatan pada klien dan keluarga
R/
: agar klien dan keluarga lebih kooperatif ketika dilakukan tindakan
2. Jelaskan
pada klien penyebab rasa nyeri
R/
: klien mengerti dari penyebab rasa nyeri dan mengurangi rasa cemas
3. Observasi
tanda-tanda nyeri non verbal, seperti ekspresi wajah gelisah, menangis
R/
: Mengetahui tingkat rasa nyeri yang dirasakan pasien
4. Observasi
skala nyeri
R/
: Mengetahui skala nyeri yang dirasakan oleh pasien
5. Observasi
tanda-tanda vital
R/
: Mengetahui perkembangan dari penyakit
6. Ajarkan
klien tehnik relaksasi dan dekstraksi untuk mengurangi nyeri
R/
: Dengan tehnik relaksasi dan dekstraksi dapat mengurangi rasa nyeri
7. Anjurkan
klien untuk napas panjang
R/
: Untuk mengurangi rasa nyeri
8. Berikan
lingkungan yang nyaman dan tenang
R/
: klien akan merasa nyaman dan tenang
9. Kolaborasi
dengan tim medis untuk pemberian terapi analgesik
R/
: Melaksanakan fungsi independen dan analgesik dapat mengurangi rasa nyeri
2)
Diagnosa II
Peningkatan suhu tubuh
berhubungan dengan adanya reaksi
penyakit ( reaksi inflamasi )
Tujuan : setelah
dilakukan intervensi keperawatan dalam waktu 1 x 24 jam suhu tubuh klien dalam
batas normal
Kriteria Hasil :
-
Suhu tubuh klien normal
-
Klien tampak nyaman
-
Secara verbal klien
mengatakan nyaman
-
Tanda vital klien
normal
-
Tidak ada perubahan
warna kulit dan klien tidak pusing
Rencana
Tindakan :
1. Bina
hubungan saling percaya dengan klien
R/ : memudahkan perawat
dalam melakukan tindakan keperwatan
2. Jelaskan
pada klien dan keluarga klien untuk mengompres klien pada daerah arteri besar
misalnya pada aksila dan leher
R/ : dengan melakukan
kompres pada daerah arteri besar bisa membantu menyeimbangkan termoregulasi
tubuh, agar suhu tubuh klien normal
3. Jelaskan
pada klien agar mengompres menggunakan air hangat , tidak boleh menggunakan air
dingin
R/ : menggompres
menggunakan air hangat akan mempercepat proses evaporasi tubuh untuk menurunkan
suhu tubuh hingga batas normal, namun jika menggunakan air dingin akan beresiko
terjadinya hipotermi.
4. Observasi
suhu tubuh klien setiap 2 jam sekali
R/ : dengan memonitor
secar rutin tentang suhu tubuh klien bisa memantau perubahan – perubahan yang
terjadi sehingga bisa segera dilakukan tindakan keperawatan.
5. Observasi
nadi, tekanan darah dan respirasi rate klien
R/ : jika tubuh
mengalami peningkatan maka nadi klien juga bisa mengalami peningkatan, sehingga
bisa memperburuk kondisi klien jika tidak dilakukan observasi.
6. Tingkatkan
inktake cairan dan nutrisi klien
R/ : peningkatan cairan
bisa membantu menstabilkan termoregulasi panas klien
7. Kolaborasi
dengan tim medis lain dalam pemberian obat antipiretik
R/ : obat antipiretik
akan membantu menurunkan suhu tubuh klien sesuai batas normal.
3) Diagnosa
III
Gangguan integritas
kulit berhubungan dengan kerusakan jaringan yang ditandai dengan adanya abses
dan kemerahan.
Tujuan : setelah
dilakukan intervensi keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam gangguan integritas
kulit klien akan teratasi.
Kriteria Hasil :
-
Abses tidak ada
-
Kemerahan tidak ada
-
Mempertahankan
integritas kulit
-
Tidak terjadi infeksi
dan komplikasi
Rencana Tindakan
1. Bina
hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga klien
R/ : mempermudah
perawat melakukan tindakan keperawatan
2. Jelaskan
pada klien agar tetap menjaga kekeringan dan kebersihan di daerah luka
R/ : mengurangi dan
mencegah terjadinya iritasi yang meluas pada area kulit lain yang bisa
memperparah kondisi klien
3. Observasi
kondisi kerusakan jaringan kulit klien, catat adanya pembengkakan dan
kemerahan.
R/ : daerah ini
cenderung terkena radang dan infeksi dan memantau kondisi kerusakan integritas
kulit klien
4. Bersihkan
dan keringkan kulit khususnya daerah dengan kelembaban tinggi
R/ : kulit yang bersih
dan kering tidak akan cenderung mengalami kerusakan
5. Kolaborasi
dengan tim medis lain dalam pemberian obat antibiotik
R/ : obat antibiotik
akan mempercepat proses penyembuhan dengan membunuh bakteri penyebabnya.
4) Diagnosa
VI
Resiko harga diri rendah
berhubungan dengan proses penyakitnya.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x
24 jam resiko HDR tidak menjadi aktual.
Kriteria Hasil :
-
Mengindentifikasi aspek-aspek
positif diri
-
Menganalisis perilaku sendiri dan
konsekuensinya
-
Mengidentifikasi cara-cara
menggunakan kontrol dan mempengaruhi hasil
Rencana Tindakan :
1.
Bina
hubungan saling percaya dengan klien
R/ : jika terjalin hubungan
saling percaya antara perawat dan klien maka akan mempermudah dalam melakukan
proses keperawatan
2.
Jelaskan
pada klien mengenai proses penyakitnya
R/ : jika klien tahu tentang penyakitnya akan mengurangi kekhawatiran
klien
3.
Bantu individu dalam
mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaan
R/ : dengan mengekspresikan perasaannya klien bisa
mengurangi beban pikirannya sehingga klien akan lebih terbuka terhadap
masalahnya
4.
Motivasi klien untuk membayangkan
masa depan dan hasil positif dari kehidupan
R/ : motivasi yang positif bisa meningkatkan
kepercayaan diri klien
5.
Perkuat kemampuan dan karakter
positif (misal: hobi, keterampilan, penampilan, pekerjaan)
R/ : dengan memperkuat kemampuan dan karakter positif
bisa membantu klien untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan keluarganya.
6.
Bantu klien menerima perasaan
positif dan negatif
R/ : dengan menerima kondisi dari klien akan lebih
bersabar dan menerima apa adanya sehingga klien tidak akan atau klien akan
membangkitkan kepercayaan dirinya
1.4
Implementasi
Pelaksanaan
merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana tindakan, meliputi beberapa
bagian yaitu validasi, rencana keperawatan, memberikan asuhan keperawatan, dan
pengumpulan data. (Lismidar, 1990)
Pelaksanaan
dilakukan sesuai dengan rencana tindakan yang telah disusun dengan melihat
situasi dan kondisi pasien.
1.5
Evaluasi
1.
Klien tampak rileks
saat berkemih
2.
Klien secara verbal
mengatakan tidak sakit / tidak nyeri
3.
Klien akan menggunakan pencegahan
non analgetik untuk mengurangi rasa nyerinya.
4.
Skala nyeri klien 2 – 3
/ 0
5.
Tanda – tanda vital
klien dalam batas normal
6.
Klien tampak tenang
7.
Suhu tubuh klien normal
8.
Klien tampak nyaman
9.
Secara verbal klien
mengatakan nyaman
10. Tanda
vital klien normal
11. Tidak
ada perubahan warna kulit dan klien tidak pusing
12. Mengindentifikasi
aspek-aspek positif diri
13. Menganalisis
perilaku sendiri dan konsekuensinya
14. Mengidentifikasi
cara-cara menggunakan kontrol dan mempengaruhi hasil
terimakasih buat artikelnya... sangat bermanfaat sob...
BalasHapushttp://cv-pengobatan.com/pengobatan-alami-radang-panggul/